Triberita.com, Serang Banten – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten tidak mentolerir kasus kejahatan seks terhadap anak. Kejati Banten sedang mempertimbangkan untuk menjatuhkan tuntutan hukuman kebiri kepada pelaku.
“Hukuman kebiri harus, saya di Jatim (Jawa Timur) pertama di Mojokerto (menerapkan hukuman kebiri-red),” ujar Kajati Banten, Didik Farkhan Alisyahdi, Kamis (2/3/2023).
Didik menjelaskan, dirinya bersama Asisten Pidana Umum Kejati Banten, akan mengkaji terhadap penerapan sanksi kebiri kepada pelaku kejahatan seks terhadap anak.
“Kita petakan, kalau tindak pidananya sudah luar biasa mau tidak mau kita terapkan hukuman kebiri,” terang Didik.
Sementara itu, Komnas PA Provinsi Banten, Hendry Gunawan mengatakan, kasus kejahatan seks terhadap anak semakin marak terjadi. Saat ini, Provinsi Banten kata dia sudah berstatus darurat kejahatan seks terhadap anak.
“Setelah melihat dari statistik dan juga pendampingan di lapangan, saat ini Banten darurat kekerasan seksual, hal tersebut bisa kita lihat dari beberapa kasus terakhir yang Komnas dampingi,” katanya.
Gugun mengatakan berdasarkan kasus yang didampingi, terdapat lonjakan data pertahunnya. Lonjakan tertinggi kata dia terjadi pada tahun 2021.
“Ada lonjakan jumlah kasus, yang tinggi di tahun 2021, dengan rincian tahun 2017 sebanyak 26 Kasus tahun 2018 sebanyak 39 Kasus, tahun 2019 sebanyak 38 kasus, tahun 2020 sebanyak 69 tahun 2021 sebanyak 136 kasus dan tahun 2022 sebanyak 117 kasus,” kata Gugun.
Gugun mengungkapkan, kasus kekerasan seks terhadap anak pada awal tahun ini marak terjadi. Berdasarkan catatan Komnas PA Provinsi Banten, terjadi delapan kasus kekerasan seks terhadap anak.
“Pada Januari hingga Februari kami mencatat terjadi delapan kasus (kekerasan seks terhadap anak-red),” ujar Gugun.
Delapan kasus itu, pertama di Pabuaran, Kabupaten Serang. Kasus ini menimpa seorang anak berusia 12 tahun. Kasus kedua terjadi di Kasemen, Kota Serang. Kasus ini dilakukan oleh oknum pimpinan pondok pesantren (ponpes).
Kasus ketiga dilakukan oleh oknum pimpinan ponpes di Tanara, Kabupaten Serang, kemudian kasus keempat terjadi di Petir, Kabupaten Serang. Korbannya anak berusia 16 tahun. Kasus kelima di Bojonegara, Kabupaten Serang. Kasus ini menimpa korban berusia 16 tahun.
“Tiga kasus lagi ada di Kota Serang yang menimpa anak usia delapan tahun, di Majasari, Kabupaten Pandeglang dengan korban anak usia 16 tahun, dan terakhir kasus oknum ustaz di Bandung, Kabupaten Serang,” ucap Gugun.
Gugun mengatakan berdasarkan kasus yang terjadi, pelaku saat ini sudah tidak memandang status sebagai pendidik. Bahkan, ada pelaku yang merupakan pimpinan ponpes.
“Pelaku tidak lagi memandang status sebagai pendidik, bahkan pimpinan pesantrennya menjadi pelaku dan korbannya lebih dari satu,” ungkap Gugun.
Dari sisi usia sambung Gugun, ada pelaku yang berusia dibawah 10 tahun, dan korban merupakan teman sebayanya. Kondisi tersebut tentunya sudah miris karena anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar telah melakukan pencabulan.
“Pelaku kekerasan seksual ada yang berasal dari usia anak di bawah 10 tahun, dan dilakukan ke korban yang merupakan teman sebayanya. Ini yang membuat kita miris,” keluh Gugun.
Gugun menjelaskan, melihat dari kasus yang terjadi, kasus kekerasan seks terhadap anak bisa terjadi di mana saja dan disebabkan oleh berbagai faktor.
“Melihat kasus yang terjadi di pesantren, ini menggunakan ketimpangan relasi kuasa dengan memposisikan korban menjadi pihak yang tidak berdaya, dan takut melakukan perlawanan,” kata Gugun.
Gugun menduga, pelaku kekerasan terhadap anak, juga ada yang memiliki gangguan mental sehingga mempengaruhi perbuatannya.
“Karena kita tahu, pelaku yang menjadi pimpinan pesantren juga sudah memiliki istri dan juga anak,” kata Gugun.
Gugun berharap, para pelaku kekerasan seks terhadap anak untuk diberikan hukuman maksimal. Jangan ada lagi perdamaian dalam penyelesaian kasus kekerasan seks terhadap anak.
“Ada beberapa perbedaan pandangan yang terjadi di lapangan, seperti di kasus kekerasan seksual yang terjadi di Pandeglang, yang terhambat oleh proses perdamaian antara pelaku dengan keluarga korban, sehingga kasusnya tidak dilanjutkan,” kata Gugun.
“Hal ini yang kemudian kita khawatirkan membuat kasus kekerasan seksual akan terus terjadi, karena pandangan masyarakat yang didukung oleh APH (aparat penegak hukum) menjadikan kasus kekerasan seksual dianggap bisa diselesaikan secara damai,” tambah Gugun.
Sementara itu, sehubungan tuntutan hukuman kebiri kepada pelaku, sejumlah warga menilai hukuman kebiri kimia bagi para pelaku kekerasan seksual, harus segera dieksekusi guna memberikan efek jera sehingga kasus pencabulan atau kekerasan seksual dapat diminimalisasi.
Fatulloh (50) warga Serang Banten, mengaku prihatin karena kasus pencabulan terhadap anak yang mengarah pada kekerasan seksual marak terjadi di berbagai daerah, terutama di Banten.
“Masalah pencabulan saya kira suatu kejahatan yang cukup serius. Artinya memang ini tidak hanya cukup diantisipasi oleh penegak hukum (khususnya) polisi,” tuturnya.
Menurut dia, terjadinya kasus pencabulan juga harus diantisipasi oleh tokoh masyarakat maupun tokoh agama, termasuk para orang tua.
Hal serupa dikatakan Edwin, bahwa peran orang tua dan masyarakat untuk mencegah terjadinya pencabulan itu sangat penting, serta menjadi peran yang sangat ditunggu-tunggu.
“Bukan sekarang tidak (tidak ada peran, red.), tetapi pertanyaannya kenapa terjadi. Apakah orang tua lengah, apakah guru lengah, apakah tokoh masyarakat lengah,” tegasnya.
Selain itu, kata dia, meningkatnya kasus pencabulan tersebut, apakah juga karena perkembangan teknologi informatika, sehingga masyarakat bisa melihat perkembangan-perkembangan yang kadang-kadang cenderung vulgar.