Triberita.com | Serang Banten – Rumah mewah yang dijadikan pabrik memproduksi narkotika oleh satu keluarga, ternyata dikendalikan oleh Beni Setiawan alias BY yang saat ini berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pemuda Tangerang.
Beni Setiawan, pada tahun 2022 lalu di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, di vonis kurungan 5 tahun penjara dalam kasus narkotika jenis sabu. Artinya, Beni baru menjalani 2 tahun penahanan di Lapas Pemuda Tangerang.
Hal itu diketahui saat pelaksanaan ekspos oleh BNN RI dilokasi rumah mewah milik Beni Setiawan di lingkungan perumahan Purna Bhakti, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten, Rabu (2/10/2024).
Ekspos dihadiri oleh Kepala BNN RI, Kepala BNNP Banten, Danrem 064, Kapolda Banten, Ketua MUI Banten, dan Tokoh Masyarakat.
“Keluarga tersebut terdiri dari suami insial BY, istri inisial RY, dan anak inisial DD. Mereka memproduksi narkotika jenis PCC sejak Juli 2024 dengan jumlah produksi sebanyak 6,9 juta butir.
Kita ini menangkap satu keluarga, suami, istri dan anak. Ini istri ke 3 dari BY, kalau anaknya dari istri pertama,” ujar Kepala BNN RI Komisaris Jenderal Marthinus Hukom.
Diketahui, sebelumnya pada Jumat (27/9/2024), BNN RI menggerebek rumah mewah milik Beni Setiawan yang dijadikan tempat labolatorium gelap pembuatan narkotika jenis PCC, berlokasi di lingkungan perumahan Purna Bhakti, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten.
Kata Marthinus, produksi narkotika tersebut dioperasikan oleh istri dan anak BY. Karena BY masih mendekam di penjara karena kasus narkoba.
Lanjut Marthinus, istri BY memiliki peran untuk mengatur keuangan, sedangkan AD sebagai pengawas produksi.
Selain mengamankan tiga orang tersebut, BNN RI juga mengamankan AD menantu BY yang berperan sebagai penyalur paket.
Kemudian, BN dan HZ pemasok bahan baku, FS sebagai buyer, AC pengemas bahan jadi, JF koki atau pembuat racikan, dan LF pengirim paket.
“Yang mengendalikan di luar tersangka DD, dan tetap dikendalikan dari dalam oleh yang bersangkutan (BY),” ujarnya.
Sementara Direktur Psikotropika dan Prekursor Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Aldrin Marihot Pandapotan Hutabarat menjelaskan, terbongkarnya tempat produksi narkotika bermula dari pengiriman 16 karung melalui jasa ekspedisi oleh DD.
“Barang berisi 960.000 butir PCC tersebut hendak dikirim ke Jawa Timur. Setelah dilakukan penyelidikan, mengembang ke rumah di Kecamatan Taktakan,” ungkap Aldrin.
Setelah itu dilakukan penggeledahan di rumah mewah milik Beni Setiawan yang ternyata jadi laboratorium produksi narkoba. Di situ ditemukan sisa hasil produksi Pil PCC sebanyak 11 ribu butir, dan bentuk serbuk seberat 2.800 gram.
BNN juga berhasil menyita empat mesin cetak tablet otomatis yang per jamnya bisa menghasilkan sebanyak 2.000 sampai 15.000 butir pil, satu mesin pencampur, satu unit mixer kecil, dua buah ayakan, dan satu vacum sealing untuk membungkus tablet yang siap edar.
“Berdasarkan keterangan dari tersangka berinisial BY, diketahui bahwa mesin cetak pil tersebut dibeli pada tahun 2016 dan 2019 seharga Rp 80 juta sampai dengan Rp 120 juta, sedangkan untuk mesin mixer (pengaduk) dibeli pada tahun 2016 seharga Rp 17,5 juta. Semua mesin-mesin tersebut dibeli secara langsung kepada seseorang yang berinisial IS,” terang Aldrin.
“Total keseluruhan barang bukti pil PCC, baik yang ada di rumah produksi (TKP) maupun yang akan didistribusikan berjumlah 971.000 butir, untuk harga pasaran pil PCC perbutirnya yaitu seharga Rp150 ribu bila dikalikan dengan jumlah barang bukti saat ini maka akan bernilai Rp145 miliar,” sambungnya.
Selain PCC, barang bukti yang diamankan juga termasuk obat-obatan jenis tramadol dalam bentuk serbuk sebesar 75.000 gram atau 75 kilogram.
Serbuk tersebut bisa menghasilan 1,5 juta tablet. Sementara harga tramadol per butirnya Rp10 ribu, sehingga total yang bisa dihasilkan senilai Rp15 miliar.
Obat jenis lainnya, yaitu Trihexphenidyl sebanyak 2,79 juta butir, harga per butirnya Rp2000, total nilainya yaitu Rp5,4 miliar.
Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat dengan n Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) subsider Pasal 113 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) lebih subsider Pasal 112 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.