Triberita.com, Pandeglang Banten – Komisi Perlindungan Anak Banten atau Komnas PA Banten ikut menyoroti penghentian kasus pencabulan terhadap anak yang terjadi di Kecamatan Majasari, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, pada Rabu (28/12/22) lalu.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Banten, Hendry Gunawan mengaku, pihaknya sangat menyayangkan penghentian kasus pencabulan anak di Pandeglang tersebut. Terlebih, kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur itu, diduga dilakukan oleh paman kandungnya.
Menurut Gunawan, tidak ada ruang perdamaian atau restorative justice bagi pelaku pencabulan dengan korban anak.
“Perlu dicek kembali apakah ada kemungkinan paksaan, ancaman, atau bahkan transaksional yang terindikasi sebagai bentuk eksploitasi dalam proses perdamaian terhadap korban dan keluarganya, apalagi saat ini korban sedang hamil 9 bulan,” tegas Hendry Gunawan, pada Jumat (17/02/23) kemarin.
Dijelaskan Gunawan, penanganan perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, tentang Perlindungan Anak.
Dimana dalam pasal 81 dan 82 disebutkan, bahwa tindakan kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana, dan dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,-.
Kemudian, apabila tindakan ini dilakukan oleh orang terdekat seperti orang tua, wali, orang-orang yang memiliki hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan lebih dari 1 orang secara bersama-sama, maka, pidananya akan ditambah 1/3 dari ancaman pidananya.
Gunawan mengatakan, kekerasan seksual terhadap anak, merupakan delik biasa atau delik murni, artinya pelaku dapat dituntut secara pidana oleh negara, meskipun tidak ada laporan atau pengaduan dari korban atau pihak lain. Pelaku pencabulan tetap dapat dipidana, meskipun korban telah berdamai dengan pelaku dan proses hukum tetap berlanjut, walaupun pihak korban telah memaafkan perbuatan pelaku.
Dalam informasi dan laporan yang diterima oleh Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten, kasus ini sudah masuk dalam tahap penyelidikan di Polres Pandeglang.
“Kami mendapatkan informasi bahwa kasus ini sudah dilaporkan oleh korban dan keluarganya ke Unit PPA Polres Pandeglang di awal Januari lalu, tentu kami berharap upaya damai yang dilakukan oleh pelaku dan keluarga korban tidak menghalangi proses penyelidikan dan penyidikan yang sedang dilakukan, karena kita sepakat bahwa upaya damai dalam kejahatan seksual itu tidak dibenarkan,” terangnya.
Menurutnya, dalam beberapa kasus yang pernah ditanganinya, banyak korban yang tidak mau terbuka, ditambah dengan keluarga yang tidak mendukung untuk dilaporkan.
Namun dalam kasus ini, pihaknya bersyukur lantaran sebelumnya pihak keluarga korban sempat melaporkan kejadian itu, meskipun telah dicabut, dan pihaknya siap mengawal kasus tersebut.
“Tentu ini akan menjadi preseden buruk ke depan, jika kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan dengan mencabut laporan dan melakukan upaya perdamaian, karena pelapor sebenarnya tidak dapat secara sepihak mencabut laporan pidana delik murni setelah dilaporkan ke polisi,” tegasnya.
“Delik murni sendiri merupakan jenis tindak pidana yang dianggap sebagai kejahatan publik yang tidak hanya menimpa pelapor, tetapi juga melanggar kepentingan umum,” tambahnya.
Lebih lanjut Gunawan berharap, kasus yang melibatkan anak sebagai korbannya, agar dapat diproses lebih lanjut, sehingga kasusnya menjadi terang benderang, dan pelaku yang merupakan paman kandung dari korban dapat menerima konsekuensi hukum dari perbuatan pidana yang dilakukan kepada keponakannya sendiri.
“Untuk itu, saat ini kami telah berkoordinasi dengan Komnas Perlindungan Anak Kabupaten Pandeglang untuk dapat terus mengawal dan mendampingi kasus ini hingga pelaku dapat diproses secara hukum dan mendapatkan hukuman yang setimpal, dan keadilan bagi korban dapat ditegakkan,” harapnya.
Dikonformasi terpisah, Ketua Dewan Pakar Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten, Uut Lutfi menguatkan, bahwa tindak pidana kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan lewat proses damai atau di luar pengadilan.
“Kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan melalui upaya damai, dan ini diamanatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pasal 23, yang di dalamnya menyatakan bahwa Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukam penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak,” kata Uut.
Menurut Uut, jika kasus pencabulan terhadap anak diselesaikan melalui upaya damai atau musyawarah. Maka, langkah tersebut sangat bertentangan dengan perundang-undangan.
“Jadi apabila ada penyelesaian kasus melalui upaya damai, hal itu bertentangan dengan peraturan dan perundng-undangan yang ada,” ungkapnya.
Sementara itu, Kanit PPA Satreskrim Polres Pandeglang, IPDA Akbar mengatakan, bahwa pemberhentian kasus pencabulan tersebut didasari atas permintaan korban, lantaran kedua belah pihak telah melakukan musyawarah.
“Jadi dicabut itu karena adanya musyawarah dan pencabutan dari korban. Orang sudah musyawarah, berarti keadilannya sudah ditemukan. Kalau sudah musyawarah, masa mau kita masukin lagi,” kata Akbar.
Akbar berdalih, bahwa langkah tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021, tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan (restorative justice).
“Dalam aturan perpol itu, tidak masuk pengecualian. Yang nggak bisa (restorative justice) itu, menghilangkan nyawa orang, teroris, mengganggu keamanan negara kaya makar. Itu yang nggak boleh,” ujarnya menandaskan.
Untuk diketahui, sebelumnya pihak keluarga korban telah melaporkan kasus pencabulan itu ke Mapolres Pandeglang, pada Sabtu (07/01/23) lalu.
Laporan tersebut kemudian diterima oleh SPKT Polres Pandeglang, dengan nomor: STPL/B/02/1/2023/SPKT/Res.Pandeglang/Banten.
Namun, pada Senin (09/02/23), laporan tersebut dicabut dengan dasar telah dilakukan musyawarah antara pihak korban dan pelaku.
Reporter / Penulis: Daeng Yusvin
Editor: Riyan