Triberita.com, Lebak Banten – Kecewa atas lambanya proses penyidikan di Polda Metro Jaya, SR dan putrinya memberanikan diri mengirim surat ke Kapolri Jendral Listiyo Sigit.
SR juga berharap, kasus yang dihadapi putrinya saat ini sampai ke Menkopolhukam Mahfud MD yang selama ini sangat responsive terhadap kasus-kasus hukum yang dialami masyarakat kecil seperti dirinya.
SR juga berharap, terlapor kekerasan seksual terhadap putrinya segera ditangkap agar tidak ada lagi orang tua yang merasakan betapa hancurnya perasaan ketika mengetahui anak gadisnya direnggut kehormatannya dengan cara kekerasan, terlebih putrinya bercita-cita menjadi seorang hafidzah.
“Awalnya kami mengadu di Polres Lebak, tapi karena TKP awal di Jakarta diarahkan untuk melapor di Metro Jaya. Lalu disambungkan dengan P2TP2A DKI Jakarta. Atas bantuan pendampingan P2TP2A, kami melapor ke Metro Jaya,” tuturnya.
SS melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke Polda Metrojaya pada 15 Desember 2022 dengan nomor pengaduan LP/B/6410/XI/2022/SPKT//Polda Metro Jaya dengan SP.Lidi 4375/XII/2022 Ditreskrimum dan ditangani oleh Unit V Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Orang tua mana yang hatinya tidak hancur menghadapi kenyataan nasib putri yang dikasihinya dipaksa pria tak bertanggung-jawab untuk menjadi pemuas syahwatnya.
Inilah yang dirasakan SR, ibu dari SS, santri cantik asal Lebak, Banten yang baru-baru ini berkirim surat kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Sebagai ibu, SR merasakan kepedihan putrinya yang teramat dalam. Di usianya yang masih remaja, seharusnya sang putri merasakan kegembiraan selayaknya teman-teman sebayanya.
Namun yang terjadi sebaliknya, putrinya didera trauma dan beban psikis berkepanjangan, terlebih kekerasan seksual itu diakui SR justru dilakukan oleh orang yang tak lain kerabat mereka sendiri.
Sebagai orangtua, ibu dari SS mengaku benar-benar merasa terpukul atas peristiwa yang menimpa SS. Apalagi dengan perisitwa naas yang dihadapi putrinya itu, SS tidak bisa lagi masuk ke pondok pesantren.
“Anak saya tak bisa lagi “Nyantri”. Jiwa keluarga kami hancur lebur. Masa depan anak kami semakin buram,” tutur SR tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Karena kondisi ekonomi, SR memang tidak mampu menyekolahkan putrinya, sejak lulus SD, ia hanya bisa menitipkan putrinya ke pondok pesantren salafi, hanya itu yang bisa ia lakukan terlebih ayah SS telah lama meninggal dunia.
“Kami dari keluarga miskin, putri saya sudah yatim sejak kecil, saya pun hanya bisa memasukkan putri saya di pesantren sejak lulus SD,” tutur SR, ibu kandung SS.
Hati SR benar-benar hancur, ia menjerit manakala mendengar pengakuan pertama kali dari putrinya mengenai kekerasan seksual yang dialaminya, terlebih pelaku diakui SR adalah orang yang seharusnya memberikan perlindungan kepada putrinya yang seorang yatim.
“Anak saya yang masih dibawah umur, dirusak fisik dan mentalnya oleh pelaku. Awalnya disekap di kontrakan selama 3 malam, diperkosa berulang-ulang. Lalu anak kami diancam hingga pelaku bebas melakukan aksi bejatnya berulang-ulang,” ucapnya, lirih.
SR sendiri baru mengetahui apa yang terjadi kepada putrinya, setelah beberapa bulan kemudian, dan betapa hancurnya ketika ia mengetahui hal itu.
“Putri saya baru berani mengungkapkan kepiluannya setelah memendam aib besar selama kurang lebih 10 bulan, mulai Maret 2022 hingga Desember 2022,”ujarnya.
Kronologi dugaan penyekapan dan pemerkosaan
Pemerkosaan kadang di Jakarta, kadang juga di rumah pelaku di salah satu kampung di Kecamatan Cikulur. Pemerkosaan terakhir pada 3 Desember 2022 sekitar pukul 09.00 WIB di rumah pelaku.
Dikisahkan SS, peristiwa naas yang dihadapinya, bermula ketika ia membantu acara selamatan 7 bulanan kehamilan dari menantu pelaku di salah satu desa di Kecamatan Cikulur, Lebak, Provinsi Banten, pada 17 Maret 2022 lalu.
Hari itu, sekitar pukul 17.00 WIB, pelaku datang menyalaminya yang tengah istirahat setelah beres membungkus kue persiapan selamatan. Pelaku ditemani sang bibi SS.
Sambil bersalaman, pelaku berujar dalam Bahasa Sunda, “Ih eta bengeut hideung amat,” Artinya kurang lebih “Ih Itu Wajah Hitam Sekali”.
SS pun kemudian menjawab, “Karena Papanasan meureun” (karena sering panas-panasan barang kali.”). Tapi kata pelaku bukan, “lain kapanasan eta mah (bukan karena kepanasan itu sih),” tuturnya.
Malam harinya lanjut SS, sang bibi yang juga merupakan menantu pelaku menyampaikan kepada SS bahwa wajahnya jadi hitam karena ada suatu penyakit yang membuat dirinya tidak akan mendapatkan jodoh.
“Kata Bapak, awak Eneng ada penyakitnya. Penyakitnya tidak akan bisa dapat jodoh. Badannya terlihat menghitam,” tutur, SS menirukan bibinya.
Hari berikutnya dikisahkan SS, ia dihubungi suami bibinya yang tak lain adalah putra dari pelaku yang menyampaikan pesan bahwa pelaku bisa melakukan pengobatan jarak jauh.
“Waktu itu menantu pelaku bilang kalau bulu hitam yang ada di wajah saya adalah penyakit syetan dan sulit untuk diobati dan saya diberikan nomor WA pelaku.”
Singkat cerita, SS kemudian menghubungi pelaku melalui telepon, pelaku menjelaskan bahwa bulu hitam yang menghinggapi tubuhnya adalah penyakit bawaan jin jahat.
“Bulu hitam yang ada di wajah saya adalah penyakit Bulu Kamaang, yaitu penyakit bawaan jin jahat sejak lahir. Akibat penyakit ini, saya katanya tidak akan memiliki jodoh seumur hidup. Lalu pelaku menyanggupi bisa menyembuhkan penyakit saya dengan syarat tidak boleh memberitahu siapapun,” terangnya.
Karena ingin sembuh dan takut tidak mendapatkan jodoh seperti yang dikatakan pelaku, SS pun mengikuti permintaan pelaku dengan tidak memberitahukan hal itu kepada siapapun, termasuk ibu kandungnya.
Hari pertama, pengobatan dilakukan dengan jarak jauh, ritual pun dilakukan dan SS diminta pelaku untuk menyiapkan air.
Beberapa hari kemudian, pelaku yang tinggal di Jakarta mengatakan, pengobatan tidak bisa lagi dilakukan jarak jauh, SS harus datang ke kontrakan pelaku di Jakarta. “Kata dia saya harus ke Jakarta ketemu, karena penyakit saya cukup berat,” tuturnya.
Pada 23 Maret 2022, SS dijemput anak pelaku dari pesantren dan diantar ke kontrakan pelaku, saat itu SS diyakinkan bahwa pengobatan hanya berlangsung satu hari saja. Setibanya di rumah kontrakan, awalnya ia tidak merasakan keanehan, namun selepas isya, ketika SS hanya berdua dengan pelaku, barulah kejanggalan dialami SS.
Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Pelaku meminta SS untuk melucuti pakaiannya namun SS menolak. Pelaku, kata SS bersikukuh bahwa pencabutan bulu-bulu hitam di wajah dan dada serta kemaluan SS harus segera dilakukan, jika ingin segera sembuh. Dibantu pelaku, SS pun terpaksa melucuti pakaiannya.
Prosesi ritual pengobatan pun dilakukan, dimana pelaku meraba-raba seluruh tubuh korban dengan alasan tengah mencabuti bulu-bulu syetan yang menempel di tubuh korban. Pelaku juga meraba-raba kemaluan korban dengan alasan bulu penyakit syetan berada di saluran kemaluan.
SS tidak bisa berontak, karena selalu ditakut-takuti oleh pelaku bahwa hidup korban tidak akan punya jodoh seumur hidup, jika bulu-bulu syetan tersebut tak dicabuti saat itu juga.
Pengobatan malam itu berujung pada pemerkosaan terhadap SS hingga tiga kali. Korban tidak mampu melawan, selain takut pada pelaku yang bertubuh besar dan gendut kata SS, juga karena takut penyakitnya benar-benar tidak bisa diobati.
Anehnya, menurut SS, putra pelaku yang mengantarkan dirinya ke rumah kontrakan pelaku, justru baru tiba di rumah kontrakan keesokan harinya.
Tidak cukup hanya sampai di situ, pemerkosaan kembali terjadi pada malam Jumat, malam Sabtu hingga malam Minggu, yaitu tanggal 24, 25 dan 26 Maret 2022. Pelaku disekap dan diperkosa berkali-kali selama empat malam di kontrakan tersebut dengan dalih pengobatan. Hari berikutnya, SS diantar anak pelaku kembali ke pesantren di Kabupaten Lebak, Banten.
Tiga hari berselang, Rabu, 30 Maret 2022 anak pelaku kembali menjemput SS untuk melakukan pengobatan. Di rumah pelaku, korban kembali diperkosa. Peristiwa berulang kembali seminggu berikutnya, pelaku yang mengaku sebagia dukun yang bisa mengobat penyakit setan itu menjemput SS ke rumah kontrakanya di Jakarta.
Lagi, pelaku kembali diperkosa sebanyak dua kali atasnama pengobatan di kontrakan pelaku dan dipulangkan kembali ke pesantren hari berikutnya.
Di tengah ketakutannya, SS kemudian diancam pelaku bahwa ia tidak akan melanjutkan pengobatan, kecuali jika SS mau dinikahi oleh pelaku dan pria yang sudah memiliki cucu itu juga memaksa SS untuk merahasiakan pernikahan mereka dengan dalih masih dalam rangka pengobatan. Untuk wali, kata pelaku seperti dituturkan SS, cukup menggunakan wali hakim mengingat SS tidak memiliki ayah kandung.
SS menolak untuk dinikahi pelaku, selain pria tersebut sudah punya istri, SS juga telah memiliki seorang tambatan hati, karena ingin menikah dengan sang kekasih itu juga yang membuat SS bersedia diobati oleh pelaku yang mengatakan kalau dirinya mengidap penyakit yang jika tidak segera sembuh maka ia tidak akan mendapatkan jodoh.
Namun SS terus dipaksa, pelaku bahkan mengancam membatalkan pengobatan dan bersumpah bahwa korban tidak akan mendapatkan jodoh seumur hidupnya. Atas ancaman tersebut, korban menyerah dan mau ikut kembali ke Jakarta dalam rangak pengobatan sekaligus pernikahan yang diyakini SS sebuah pernikahan palsu belaka.