Oleh : Laurens Dami
(Mencari Jalan Baru Kepolisian yang Demokratis dan Humanis)
Triberita.com | Reformasi 1998 telah membuka jalan bagi perubahan besar dalam sistem politik dan hukum Indonesia.
Gelombang reformasi yang menggulingkan Orde Baru, bukan hanya menuntut demokratisasi politik, tetapi juga reformasi institusi keamanan negara, terutama kepolisian.
Sejarah panjang keterlibatan Polri sebagai bagian dari ABRI, meninggalkan jejak kultur represif dan militeristik yang sulit dihapus.
Dua dekade berlalu sejak Polri resmi dipisahkan dari ABRI pada tahun 1999, pertanyaan besar masih muncul: sejauh mana reformasi kepolisian benar-benar berjalan?
Apakah Polri telah berubah menjadi institusi sipil yang demokratis, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik?
Ataukah, ia masih terjebak dalam kultur lama yang penuh dengan praktik kekuasaan, pelanggaran etika, dan korupsi struktural?
Kita berusaha menelusuri persoalan tersebut dengan meninjau reformasi Polri dari empat perspektif utama: hukum, etika profesi, kultural, dan sosiologis, dilengkapi dengan analisis kasus nyata serta perbandingan internasional.
Harapannya, kajian ini dapat memberikan gambaran lebih komprehensif tentang tantangan reformasi kepolisian Indonesia serta arah pembaruan yang seharusnya diambil.
Sejarah Singkat dan Landasan Hukum Reformasi Polri
Polisi di Indonesia, lahir dari sistem kepolisian kolonial Belanda yang berfungsi menjaga kepentingan penguasa kolonial, bukan melayani rakyat.
Tradisi ini, berlanjut di masa Orde Baru, ketika Polri menjadi bagian dari ABRI dengan fungsi ganda: penegak hukum sekaligus alat politik rezim.
Paradigma ini, menumbuhkan kultur represif: polisi dipandang bukan sebagai pelayan masyarakat, tetapi sebagai “alat negara” yang menakutkan.
Reformasi 1998, menghasilkan pemisahan Polri dari TNI, ditandai dengan TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan VII/MPR/2000, serta lahirnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-undang ini, memposisikan Polri sebagai aparat sipil, bukan lagi bagian militer, netral secara politik, tidak boleh terlibat dalam politik praktis, pelayan publik, yaitu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Sebagai bagian dari negara hukum, tugas Polri tunduk pada asas due process of law. Polisi bukan “penguasa” hukum, melainkan “penjaga” hukum. Namun dalam praktik, sering terjadi penyimpangan. Polisi lebih berperan sebagai “penentu” hukum, bukan “penegak” hukum.
Etika Profesi Kepolisian
Etika profesi kepolisian diatur dalam Perkap No. 14 Tahun 2011, yang menekankan integritas, kejujuran, profesionalitas, serta penghormatan pada hak asasi manusia.
Namun, implementasinya menghadapi kendala serius. Pungutan liar masih menjadi praktik rutin di layanan publik, rekayasa kasus menodai integritas penyidikan, gaya hidup mewah pejabat Polri memicu kecemburuan sosial, dan kekerasan aparat dalam penanganan demonstrasi memperlihatkan lemahnya internalisasi etika.
Kasus Sambo, adalah contoh paling gamblang pelanggaran etika. Tidak hanya terjadi pembunuhan berencana, tetapi juga rekayasa kasus, manipulasi bukti, dan solidaritas korps yang justru melindungi pelaku. Skandal ini menjadi “wake-up call” tentang lemahnya sistem pengawasan internal dan budaya etika Polri.
Reformasi etika, harus dimulai sejak akademi kepolisian. Pendidikan tidak cukup berfokus pada taktik kepolisian, tetapi juga pada filosofi pelayanan publik, HAM, dan etika profesi. Negara-negara seperti Norwegia, mewajibkan calon polisi belajar filsafat moral dan sosiologi agar memiliki sensitivitas sosial yang tinggi.
Perspektif Kultural dan Sosiologis
Sebagai bagian dari ABRI di masa lalu, Polri mewarisi kultur militeristik: hierarki ketat, ketaatan mutlak pada atasan, dan kecenderungan represif. Kultur ini masih terasa dalam penanganan unjuk rasa maupun konflik horizontal.
Di mata masyarakat, polisi sering dipandang sebagai “penguasa jalanan”. Interaksi sehari-hari, terutama di bidang lalu lintas, memperlihatkan wajah transaksional. Hukum bisa dinegosiasikan dengan uang.
Polisi adalah wajah negara yang paling sering berhadapan langsung dengan warga. Jika polisi represif, negara dipersepsikan represif. Jika polisi humanis, negara dipandang demokratis. Karena itu, legitimasi Polri bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kepercayaan sosial (social trust).
Analisis Kasus-Kasus Konkret
1. Tragedi Kanjuruhan (2022)
Penggunaan gas air mata di dalam stadion tertutup, memicu kepanikan yang menewaskan 135 orang. Insiden ini, menunjukkan lemahnya pemahaman aparat terhadap standar internasional (FIFA melarang penggunaan gas air mata di stadion).
2. Kasus Penyiksaan Tahanan
Komnas HAM (2023) mencatat, masih adanya praktik penyiksaan dalam penyidikan. Ini melanggar Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (1984) yang sudah diratifikasi Indonesia.
3. Korupsi dan Penyalahgunaan Anggaran
Kasus dugaan korupsi pengadaan teknologi dan BBM, menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di tubuh Polri belum sepenuhnya menyentuh aspek integritas.
Perbandingan Internasional
Untuk memahami tantangan Polri, penting melihat praktik kepolisian di negara lain.
1. Jepang: Koban System
Polisi Jepang, dikenal dengan sistem koban, yaitu pos polisi kecil yang tersebar di setiap lingkungan. Polisi hidup berdampingan dengan masyarakat, mengenal warganya, dan bertugas sebagai problem solver lokal. Model ini, memperkuat kedekatan sosial dan mencegah jarak antara polisi dan warga.
2. Inggris: Policing by Consent
Model kepolisian Inggris, dibangun atas prinsip policing by consent, bukan dengan kekuatan koersif. Polisi dianggap bagian dari masyarakat, bukan penguasa. Penggunaan kekerasan sangat dibatasi, dan akuntabilitas tinggi karena adanya lembaga independen seperti Independent Office for Police Conduct (IOPC).
3. Negara Skandinavia: Profesionalisme dan Pendidikan Tinggi
Di Norwegia, calon polisi harus menempuh pendidikan tinggi tiga tahun dengan kurikulum HAM, etika, dan sosiologi. Polisi dipandang sebagai profesi akademis, bukan sekadar aparat bersenjata. Hasilnya, tingkat kepercayaan publik terhadap polisi di Norwegia mencapai lebih dari 90%.
4. Pelajaran untuk Indonesia
Dari Jepang: pentingnya membangun polisi komunitas (community policing).
Dari Inggris: perlunya prinsip policing by consent dan pengawasan eksternal yang kuat.
Dari Skandinavia: pendidikan polisi harus menekankan aspek akademik, etika, dan humaniora.
Tantangan Reformasi Polri
Ada beberapa tantangan reformasi Polri, yakni overlapping kewenangan dengan TNI dalam penanganan keamanan, pengawasan eksternal yang lemah, Kompolnas belum efektif, resistensi internal terhadap perubahan, anggaran Polri meningkat tajam, tetapi efisiensi dan integritas dipertanyakan.
Trust deficit, survei LSI (2023) menunjukkan kepercayaan publik menurun pascakasus Sambo.
Arah Reformasi ke Depan
Pertama, di bidang hukum. Perkuat independensi Kompolnas, reformasi KUHAP, kontrol atas diskresi polisi.
Kedua, di bidang etika. Meritokrasi karier, pendidikan etika dan HAM, zero tolerance terhadap gaya hidup mewah.
Ketiga, bidang kultur. Geser paradigma dari power-oriented ke service-oriented.
Keempat, di bidang sosiologis. Bangun kepercayaan publik dengan transparansi dan partisipasi warga.
Kelima, digitalisasi pelayanan untuk mengurangi kontak transaksional.
Reformasi Polri, adalah prasyarat bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. Polisi adalah wajah negara yang paling nyata di mata rakyat. Oleh karena itu, reformasi Polri harus multidimensional: hukum memberi batas, etika memberi arah moral, kultur memberi roh praksis.
Tanpa reformasi menyeluruh, Polri berisiko tetap terjebak dalam paradoks: modernisasi tanpa demokratisasi, kekuatan tanpa legitimasi.
Indonesia membutuhkan Polri yang tidak hanya kuat, tetapi juga dipercaya. Tidak hanya profesional secara teknis, tetapi juga berintegritas secara moral; tidak hanya aparat negara, tetapi juga sahabat rakyat.